aku biarkan kau terusan tebarkan lagi setiap harap,
untuk aku kait jadi sayap,
semata untuk aku terbang bersayapkan harap yang jauh dan tingginya lebih,
dari dulu-dulu.
dan
mahu saja,
aku biarkan kau tegar julangkan pada dunia,
segala sepanduk rasa yang kau ada, seolah merusuh,
semata untuk aku merasa manisnya gelora asmara yang manisnya lebih,
dari dulu-dulu.
tapi,
aku tak tahu kenapa dan mengapa dalam aku yang mahu itu,
terselit aku-yang-pendua yang seolah-olah berkata, "jangan",
dan aku-yang-pendua yang satu laginya berkata, "biarkan",
apa aku perlu cagarkan saja kembali hati ini secara langsung atas meja judi? atau aku gadaikan jadi emas dahulu yang kemudiannya aku taruhkan atas meja judi tadi? atau aku cuma perlu serah-ngaku-kalah sebelum dek-empat-bentuk selesai didistribusi?
atau aku cuma perlu sorok dalam gerobok?
dibiar tak tersentuh-lama, dibiar saja berdebu-habuk?
******
Pen diletak. Kertas A4 putih yang ditulis puisi tadi dikeronyok, dikoyak, dibaling ke dinding, tapi satu persatu puisi yang ditulis tadi masih terngiang lagi dalam otak. Timbul satu-satu dan berarak seperti keretapi yang bergerak terus lurus atas landasan. "apa aku perlu cagarkan saja kembali hati ini secara langsung atas meja judi?". Shit! Bentaknya dalam hati. Rokok yang menggomol bibir ditonyoh dalam ashtray. Rambut panjangnya diserabaikan, tak gatal tapi digaru.
"Bercinta sama saja seperti berjudi", itu kata ayahnya dulu. Dia bangun mampir ke tingkap. Bulan masih sama, setia memegang janjinya pada malam yakni terus menerang, menebar cahayanya yang terpantul dari mentari.
"Bulan juga tegar berkongsi cahayanya, kenapa tidak kau? Kenapa kau bantutkan segala cambahan rasa? Kenapa kau cantas setiap tunas jiwa yang baru tumbuh?", bisik hati kecilnya.
2 ulasan:
cagarkan saja
sedangkan hidup kita sendiri adalah satu perjudian, apatah lagi percintaan.
Catat Ulasan