di suatu ceruk yang terpendam, hanya berteman hati dan perasaan itulah,

aku memencil jiwa, untuk ketenangan dan kedamaian. sambil mengenang nasib seorang pendita di atas tanah terjajah; tanah yang tersebelumnya hijau permai dengan sang kuntum wangi tapi terseterusnya kering dan hampir kontang. tandus.

ketandusan.

kini, yang nampak hanyalah samar-samar hijau di kejauhan. nun saujana mata memandang.

lantas aku selak bagasi hidup aku, malang, yang tinggal padaku hanyalah sehelai tuala NIPIS dan KECIL; mungkin untuk aku lap muka aku andaikata terpalit lumpur di perjalanan nanti.

terkehadapan siapa boleh tahu. aku bukan ahli nujum.

haih.

"dewa tumbuhan, kalau kau sayang aku, jelmakanlah kembali bunga harumku. agar aku masih punya alasan untuk merencana asmara", sms aku pada kerajaan fauna.

setahun dan sehari yang lalu

tikamana tiga ratus enam puluh enam hari dululah,
aku petik sekuntum bunga dari lingkungan bunga-bunga yang halus, cantik dan wangi.

terimakasih untuk kasihsayangmolek. kau teratas dan kau hanya sekuntum.

"Ca5Co5A10 - ∞G1 = ilunis"-tun boja bistara

junta suara dalam untaian korupsi

kekal,
walau tak semampu,
melangkah,
walau tak seteguh,
tidur,
walau tak bermimpi,
sedar,
walau dalam fantasi,

itu masih hidup namanya,
bukan mati,
itu masih bernyawa namanya,
bukan mati!

bukan!

lagi!

mati!

aku bukan tak senonoh kalau berbogel atau bertelanjang kalau apa yang aku bogelkan adalah apa yang aku kaut dari peti besi pengalaman aku.

waima sadis atau manis.

sebab itu "tak senonoh beradab" namanya.

juga sebab kita persis merpati; bebas untuk bertoleransi.