Tak banyak yang aku pinta, sayang,
cuman di setiap menung rindu kau itu, paksinya,
aku.
Sepertimana, aku,
merindu kucup mulusmu,
saat kau sengaja kerling separa nakal matamu waktu kau malu-malu merangkul aku ke dakap kasihmu,
malam itu.
Ah,
usap jemari kau saja sudah bisa melega banyolan hati dek ruwet dunia di siangnya,
yang barangkali kalau kau ingat lagi waktu itu, sambil-sambil kau senyum, kau usap rambutku,
lalu kau bilang,
“Gak usah gundah sayangku, aku ini selalu ada, untuk raih setiap jerihmu.”
Ah,
kenapa jarak perlu memisah-asing dua jiwa yang seharusnya serangkulan?
kenapa jarak perlu memisah-asing dua tubuh secinta yang cakna berkasih sayang?
Aku gak bersedia untuk teruji hebat dengan perlumbaan siapa lagi rindu siapa,
sedang kita tahu, meter rindu kita sama-sama skala richternya nakal, naik-turun-naik-turun laju!
Kau juga rasa yang sama bukan?
Ah, kau tahu?
Adapun dalam setiap gerak tubuh wanita ini, juga di selang hela nafasnya saban hari,
di antara detak-detak jantung yang terkadang bak terhenti,
“Aku ini sebenarnya, telah, sedang, masih dan akan tegar terwujud demi merindukanmu, sayangku.”
Sayang,
hidup ini, walau kadang terselit sakitnya sebuah paksaan; resmi kita yang di kejam kejauhan,
kita tetap masih ada; manisnya sebuah pilihan.
Dan aku?
Aku pilih untuk senantiasa merindukanmu, di balik gentayangan yang men-senyum-pilu.
Kuantan – Shah Alam , 21 September 2016
Ermie Fadhullah – Aifaa Rizwan
#sepuisi
#tempatpalingliardimukabumi